Jumat, 14 Oktober 2011

HYPERTEXT, dan ARPANET


HYPERTEXT


Istilah hypertext pertama  kali dikemukakan oleh Ted Nelson pada tahun 1960-an (Carter, 1997; Jonassen, 1991 dalam Altun, 2000) sebagai suatu bentuk teks elektornik. Ia menjelaskan, hypertext adalah teks-teks tertulis non- sekuensial yang memiliki percabangan dan  menyediakan pembaca berbagai pilihan, sebagai bacaan yang menarik pada layar interaktif. Dalam hypertext ini berbagai potongan (chunk) teks dihubungkan secara seri oleh links sehingga pembaca dapat menyusuri berbagai lintasan yang diinginkannya. Potongan- potongan teks ini disebut dengan nodes (simpul) (Miall, 1997). Berbeda dengan buku teks, hypertext dapat disajikan dengan menggabungkannya dengan berbagai media lain seperti vidio- klip, animasi, suara, gambar dan grafik. Karena sifatnya inilah kadang kala hypertext juga disebut hipermedia atau multimedia, walau- pun beberapa ahli membedakannya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa karakteristik dari hypertext adalah bersifat non-sekuensial (non- linier), ditampilkan dalam media elektronik, bisa digabungkan dengan berbagai media (multi- media), dan interaktif terhadap pembaca.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah semua sistem hypertext dapat memberikan dampak positif terhadap proses pembelajaran? Spiro (1994) menjelaskan bahwa sistem hypertext bisa dibuat dengan berbagai cara, namun cukup alasan untuk meyakini bahwa sebahagain besar cara-cara tersebut tidak akan membuahkan hasil belajar yang baik. Ini disebabakan hypertext tersebut dapat saja membuat mahasiswa menjadi bingung. Mahasiswa akan "tersesat" dan “hilang” dalam link yang cabangnya begitu banyak. Disamping itu karena tidak ada yang akan menghalangi pembaca dalam menautkan dua simpul informasi dan melanjutkannya dengan simpul-simpul lain, maka ada kemungkinan navigasi akan berakhir dengan sekumpulan informasi yang inkoheren (Briggs, 1992). Ini teru- tama terjadi pada hiper- teks besar, yang masih diperumit oleh hubungan nya dengan hipermedia lain. Misalnya, navigasi bisa berawal dengan dilatasi-waktu kemudian ke entropi dan/atau diteruskan ke Time- Tunnel. Mahasiswa menda- patkan banyak informasi, namun bukan pengeta- huan karena struktur dalam informasi terabaikan akibat navigasi yang kurang terarah.Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah sitem hypertext yang mudah ter jangkau (accessible).
Menyajikan materi-subjek dalam berbagai links dan pilihan memberikan fleksibilitas kepada pembaca untuk menyusun ulang materi sesuai dengan yang diinginkannya. Pada hypertext mahasiswa bukan hanya sebagai pembaca akan tetapi sekaligus kreator bahan bacaannya. Pembacalah yang akan menentukan urutan dari teks, yang berarti sekaligus menentukan konteks dari bacaannya. Memang benar bahwa materi-subjek yang akan dihadapi mahasiswa sudah tersedia dalam sistem yang ada akan tetapi karena ia begitu luas dan banyak pilihan, maka terbuka peluang-peluang kombinasi dalam menentukan urutan teks. Jika pada kuku teks, mahasiswa tinggal membaca teks yang sudah disusun oleh pengarang, namun pada hypertext mahasiswa sekaligus “pengarang” terhadap teks bacaannya. Sesungguhnya, ditinjau dari bagaimana mahasiswa belajar (walaupun sistem hypertext harus dibuat agar tidak membingungkan pembaca), mahasiswalah  yang bertanggung jawab terhadap teks bacaannya.

Analoginya adalah, teks-teks pada hypertext adalah bata bahan dasar bangunan, sistem hypertext adalah semennya, dan urutan sekuensial yang dibuat siswa adalah bangunnya. Orang yang bertanggung jawab terhadap bangunan adalah yang membuatnya, dalam hal ini adalah mahasiswa. Pabrik bata dan semen hanya bertanggung jawab terhadap barang-barang yang diproduksinya, bukan bangunan yang terbentuk.

Apa sebenarnya arti itu semua? Hypertext bisa digunakan sebagai salah satu sarana yang memberi kesempatan kepada pembelajar untuk “membangun” pengetahuannya sendiri. Selama berintraksi dengan hypertext pembelajar terus berlatih menghubung-hubungkan konsep yang relevan. Mahasiswa dilatih mempergunakan kognisinya untuk mengorganisasikan informasi-informasi menurut kebutuhannya sebelum digunakan atau diterapkan pada tugas yang dihadapi menurut konteksnya. Hal seperti ini hampir tidak bisa ditemukan pada teks sekuensial seperti pada buku-buku teks. Disamping itu karena dalam hypertext pembaca sendiri yang menentukan penavigasian terhadap konten sesuai dengan pemahamannya, maka sebenarnya dalam melaksanakan tugasnya pembaca sekaligus menjadi “penyususn” dokumen yang akan dibaca saat membacanya.
Menurut Spiro (1994), kondisi seperti ini dapat mengembangkan intelegensi pembaca melebihi ketika berhadapan dengan teks-sekuensial biasa.   Lebih jauh, dari segi pengajaran, lingkungan belajar hypertext dapat dikelola untuk menye- diakan pengajaran yang mampu mengembangkan cognitive flexibility. Hypertext menyediakan ruang fleksibilitas kepada pembaca ketimbang buku-buku teks (Foltz, 1996). Altun (2000) mengemukakan pada saat membaca teks pada layar sambil menyusuri link yang ada, pembaca melakukan aktifitas kognisi yang kompleks dengan melibatkan berbagai stategi yang mungkin. Jika proses seperti ini secara terus menerus dilakukan tentu saja dapat meningkatkan dan memapankan kemampuan cognitive fleksibility pembelajar yang merupakan kondisi yang dituntut untuk penguasaan pengetahaun lanjut (Siregar, 2002). Mahasiswa akan mengembangkan pola-pola tertentu dalam pikirannya yang bisa menuntunnya dalam mengambil keputusan dalam kerumitan persoalan yang dihadapi.

Instruksi dengan hypertext juga membiasakan mahasiswa melihat keluesan materi subjek. Dengan menghubungkan materi kepada berbagai media dan menampilkannya dalam berbagai bentuk representasi akan memperkaya persepsi mahasiswa terhadap materi tersebut. Pernyataan seperti ini tidaklah sulit diterima karena semakin sering brinteraksi dengan suatu objek dalam berbagai situasi yang berbeda maka akan semakin lengkap atribut skema kita tentang objek tersebut, sehingga akan semakin mampu kita melihat ke-fleksibel-an dari objek atau materi-subjek tersebut. Hal seperti ini perlu untuk tujuan pembelajaran lanjut dimana mahasiswa dituntut sercara luas menerpakan pengetahuannya pada situasi yang berbeda. Spiro (1994) mengemukakan bahwa pengetahuan yang akan dipergunakan dalam berbagai kasus harus diorganisasikan, diajarkan dan direpresentasikan dalam bebagai bentuk. Lebih jauh ia mengatakan, penyebab utama kegagalan pembelajaran lanjut adalah adanya oversimplifikasi, dan salah satu bentuk oversimplifiksi yang menonjol adalah melihat suatu konsep atau fenomena ataupun kasus dari satu sudut pandang saja. Ini jelas akan memiskinkan pemahaman terhadap konsep dan menyebabkan konsep tersebut hanya terterapkan pada situasi yang terbatas.



ARPHANET


Kok bisa ya internet muncul? Lalu siapa yang menemukannya? Semoga artikel singkat ini mampu menjawab kedua pertanyaan tersebut.
Peluncuran satelit Sputnik oleh Uni Soviet pada 1957 merupakan embrio dari lahirnya internet. Pihak Amerika Serikat menjadi khawatir atas peluncuran satelit tersebut. Karena bila Uni Soviet mampu meluncurkan satelit ke ruang angkasa, maka sangat mungkin bagi mereka untuk meluncurkan rudal ke Amerika Utara. Sebagai balasannya, pada 1958 Presiden Dwight D. Eisenhower mendirikan Advanced Research Project Agency (ARPA) yang tujuan utamanya ialah mengembangkan teknologi komputer.
ARPA kemudian membuat sebuah jaringan yang menghubungkan empat buah komputer yang dioperasikan dengan sistem operasiAdvanced Research Project Agency Network (ARPANET). Fungsi ARPANET ialah untuk membentuk suatu jaringan komputer yang tidak terpusat pada satu tempat dan tetap berfungsi sekalipun dalam keadaan hancur.
Pada tahun berikutnya jumlah node bertambah dari 4 menjadi 15 dan pada tahun 1972 menjadi 37 node. Pada rentang waktu yang sama program e-mail atau surat elektronik ditemukan dan menjadi terkenal. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di ARPA yang menunjukkan bahwa 75% komunikasi data di ARPANET adalah surat elektronik. Kemudian pada tahun 1982 semua node di ARPANET merubah protokolnya dari NCP (Network Control Protocol) menjadi TCP/IP (Transmission Control Protocol/ Internet Protocol). Bersamaan dengan itu di berbagai tempat di dunia mulai bermunculan berbagai jaringan lain yang dibentuk untuk keperluan riset dan pendidikan. Pada tahun 1983 ARPANET pecah menjadi ArpaNet dan MilNet (Military Network). MilNet, yang kemudian melebur dengan Defense Data Network digunakan untuk keperluan militer. Sedangkan ArpaNet digunakan untuk keperluan riset. Pada tahun 1989 ArpaNet secara resmi ditiadakan. Keberadaannya kemudian digantikan oleh NSFNet (National Science Foundation Network), yang kemudian disusul dengan kemunculan berbagai jaringan utama lain seperti SURANet, Cerfnet dan lain-lain. Teknologi ini terus berkembang sehingga dikenal oleh seluruh negara di dunia dan pada 7 Juni 1994 dilakukan ping pertama ke Indonesia.
*NB:  node adalah sebuah komputer dalam jaringan yang bisa dianggap sebagai titik dalam jaringan tersebut



peminat blog saya